Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov menilai strategi Presiden terpilih AS, Donald Trump di kebijakan luar negeri mirip dengan pendekatan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Reuters melaporkan, Dmitry Peskov Kamis (10/11) seraya mengisyaratkan kemenangan Donald Trump di pemilu presiden Amerika mengatakan, ada kemiripan yang mencengangkan antara aspirasi Vladimir Putin dan Trump terkait kebijakan luar negeri, di mana kesamaan ini dapat menjadi landasan kokoh untuk memulai sebuah dialog serius antara Moskow dan Washington.
"Putin dan Trump keduanya memperioritaskan kepentingan negaranya, namun mereka juga siap meningkatkan hubungannya dengan negara lain dan hal ini juga tergantung pada kesiapan negara lain untuk memperdalam hubungan tersebut," papar Peskov.
Jubir Kremlin seraya menjelaskan bahwa Moskow dan Washington memiliki friksi terkait isu Suriah, Ukraina dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengungkapkan, pasca kerusakan serius selama beberapa tahun lalu di hubungan Amerika dan Rusia, untuk mencapai rasa saling percaya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sambutan mencolok Moskow atas terpilihnya Trump sebagai presiden baru Amerika mengindikasikan sikap mendukung Rusia terhadap kandidat kontroversial dari partai Republik ini. Hal ini kembali pada sikap Trump baik di awal kampanye pemilu atau di era pemilu internal atau final terkait urgensitas pemulihan hubungan dengan Rusia, khususnya dalam memerangi teroris Daesh.
Bagaimana pun juga pejabat pemerintah Amerika sebelum penyelenggaraan pilpres menggulirkan tudingan kepada Rusia bahwa Moskow berusaha menerobos ke sistem pemilu Amerika yang merugikan Hillary Clinton dan menguntungkan Donald Trump. Isu ini mengemuka menyusul janji Clinton untuk meningkatkan upaya melawan Rusia. Sejatinya perspektif ini mendorong Rusia memiliki pandangan negatif terkait berkuasanya Clinton dan secara transparan mendukung Trump.
Sebaliknya Trump sebagai kandidat yang menyeleweng dari garis politik yang ada di Amerika Serikat ikut bersaing di bursa pemilu. Ia memiliki pandangan yang bertolakbelakang dengan Clinton dan pada dasarnya tidak mengharapkan berlanjutnya konfrontasi antara AS dan Rusia yang terjadi saat ini, khususnya ada peluang kerjasama di antara kedua negara di berbagai sektor seperti perang anti Daesh.
Di sisi lain, Clinton saat menjustifikasi kinerja negatifnya mengklaim intervensi Rusia di proses pilpres Amerika dengan tujuan mempersiapkan peluang kemenangan Trump. Padahal petinggi Rusia, khususnya Presiden Putin membantah keras dakwaan tersebut. Tapi begitu, statemen Sergei Ryabkov pada hari Kamis sedikit banyak menguak intervensi Rusia selama pilpres Amerika. Deputi menlu Rusia, Sergei Ryabkov terkait hal ini menandaskan, Moskow memiliki interaksi dengan sejumlah orang dekat Donald Trump selama masa kampanye dan hubungan ini masih terus berlanjut.
Selama kampanye, selain memuji Putin sebagai pemimpin yang kuat dihadapan Obama, Trump menilai sikap bersahabat dengan Rusia, bahkan di isu-isu internasional dan interaksi dengan menurunkan tensi Washington-Moskow sangat bermanfaat. Hubungan Amerika Serikat dan Rusia sejak tahun 2014 semakin renggang khususnya mengingat isu seperti langkah permusuhan NATO dengan menempatkan sistem anti rudal di Eropa timur dan ekspansi organisasi ini ke arah timur, krisis Ukraina, dan krisis Suriah.
Tensi ini khususnya krisis Ukraina membuat AS dan Uni Eropa sejak tahun 2014 menjatuhkan sanksi kepada Rusia dengan alasan intervensi Moskow di Kiev dan bantuan kepada kubu oposisi Ukraina serta aneksasi Crimea. Aksi tersebut tidak dibiarkan oleh Rusia dan Moskow kemudian melakukan langkah serupa.
Sementara menurut pejabat Kremlin, berkuasanya Trump merupakan peluang emas memulihkan hubungan Moskow dan Washington. Petinggi Rusia menyambut statemen Trump terkait normalisasi hubungan dengan Moskow.
Proses hubungan AS dan Rusia saat ini cenderung ke arah perbedaan yang semakin intens dan penurunan hubungan di semua lini. Dengan berkuasanya T
"Putin dan Trump keduanya memperioritaskan kepentingan negaranya, namun mereka juga siap meningkatkan hubungannya dengan negara lain dan hal ini juga tergantung pada kesiapan negara lain untuk memperdalam hubungan tersebut," papar Peskov.
Jubir Kremlin seraya menjelaskan bahwa Moskow dan Washington memiliki friksi terkait isu Suriah, Ukraina dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengungkapkan, pasca kerusakan serius selama beberapa tahun lalu di hubungan Amerika dan Rusia, untuk mencapai rasa saling percaya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sambutan mencolok Moskow atas terpilihnya Trump sebagai presiden baru Amerika mengindikasikan sikap mendukung Rusia terhadap kandidat kontroversial dari partai Republik ini. Hal ini kembali pada sikap Trump baik di awal kampanye pemilu atau di era pemilu internal atau final terkait urgensitas pemulihan hubungan dengan Rusia, khususnya dalam memerangi teroris Daesh.
Bagaimana pun juga pejabat pemerintah Amerika sebelum penyelenggaraan pilpres menggulirkan tudingan kepada Rusia bahwa Moskow berusaha menerobos ke sistem pemilu Amerika yang merugikan Hillary Clinton dan menguntungkan Donald Trump. Isu ini mengemuka menyusul janji Clinton untuk meningkatkan upaya melawan Rusia. Sejatinya perspektif ini mendorong Rusia memiliki pandangan negatif terkait berkuasanya Clinton dan secara transparan mendukung Trump.
Sebaliknya Trump sebagai kandidat yang menyeleweng dari garis politik yang ada di Amerika Serikat ikut bersaing di bursa pemilu. Ia memiliki pandangan yang bertolakbelakang dengan Clinton dan pada dasarnya tidak mengharapkan berlanjutnya konfrontasi antara AS dan Rusia yang terjadi saat ini, khususnya ada peluang kerjasama di antara kedua negara di berbagai sektor seperti perang anti Daesh.
Di sisi lain, Clinton saat menjustifikasi kinerja negatifnya mengklaim intervensi Rusia di proses pilpres Amerika dengan tujuan mempersiapkan peluang kemenangan Trump. Padahal petinggi Rusia, khususnya Presiden Putin membantah keras dakwaan tersebut. Tapi begitu, statemen Sergei Ryabkov pada hari Kamis sedikit banyak menguak intervensi Rusia selama pilpres Amerika. Deputi menlu Rusia, Sergei Ryabkov terkait hal ini menandaskan, Moskow memiliki interaksi dengan sejumlah orang dekat Donald Trump selama masa kampanye dan hubungan ini masih terus berlanjut.
Selama kampanye, selain memuji Putin sebagai pemimpin yang kuat dihadapan Obama, Trump menilai sikap bersahabat dengan Rusia, bahkan di isu-isu internasional dan interaksi dengan menurunkan tensi Washington-Moskow sangat bermanfaat. Hubungan Amerika Serikat dan Rusia sejak tahun 2014 semakin renggang khususnya mengingat isu seperti langkah permusuhan NATO dengan menempatkan sistem anti rudal di Eropa timur dan ekspansi organisasi ini ke arah timur, krisis Ukraina, dan krisis Suriah.
Tensi ini khususnya krisis Ukraina membuat AS dan Uni Eropa sejak tahun 2014 menjatuhkan sanksi kepada Rusia dengan alasan intervensi Moskow di Kiev dan bantuan kepada kubu oposisi Ukraina serta aneksasi Crimea. Aksi tersebut tidak dibiarkan oleh Rusia dan Moskow kemudian melakukan langkah serupa.
Sementara menurut pejabat Kremlin, berkuasanya Trump merupakan peluang emas memulihkan hubungan Moskow dan Washington. Petinggi Rusia menyambut statemen Trump terkait normalisasi hubungan dengan Moskow.
Proses hubungan AS dan Rusia saat ini cenderung ke arah perbedaan yang semakin intens dan penurunan hubungan di semua lini. Dengan berkuasanya T